Sebuah wacana umum yang perlu disikapi dengan serius
.
Konon dulu, dua orang kakak-beradik berkebangsaan Jerman yang sempat tinggal bertahun-tahun di Indonesia semasa penjajahan Belanda, yaitu Emil dan Theodor Helffrich pernah berkata, “Eine nation von kuli und kuli unter den nationen”, artinya Bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa lain. Kata-kata itu dimaksudkan adalah Bangsa Indonesia, ini benar-benar menyakitkan.
Fenomena pengiriman TKI dan TKW ke luar negeri semakin memperjelas pendapat Emil dan Theodor Helffrich tersebut. Bahkan dengan senyum bangga, pejabat tinggi Indonesia memberikan predikat “Pahlawan Devisa” bagi para TKI dan TKW tersebut.
“Apa benar - bangsa Indonesia – adalah bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa lain? Hal ini sungguh menyakitkan untuk didengar, sungguh terharu untuk dirasakan, sungguh terlalu ….
Pernyataan tersebut diatas bila ditelusur secara utuh, itu tidak benar, bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia, bangsa yang besar, bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, bangsa dengan keanekaragaman suku dan budaya, serta memiliki kekayaan alam yang melimpah-ruah.
Sekarang kita selidik realita lain, banyak konglomerat duduk manis bergelimang harta di negeri ini, banyak orang punya mobil hingga menyebabkan jalanan macet, banyak koruptor bisa tidur nyenyak beralaskan bantal uang di negeri impian ini, banyak anggota parlemen rebutan permen, banyak artis alih profesi ke dunia politis. Apa pantas kuli bisa memiliki dan menikmati semua itu?
Memang sih ada juga rakyat miskin yang tidurnya beralaskan angin, dan juga pengangguran berdasi menunggu jatah nasi. Celakanya kuantitas golongan kedua ini jumlahnya lebih besar dari golongan borju diatas. Ketimpangan yang cukup besar dan keserakahan golongan minoritas membuat negeri ini tidak seimbang, kurang sehat dari sisi mental. Mereka tidak mampu berubah, bisa disebabkan oleh mental pribadi maupun oleh sistem yang membelenggunya. Faktor mental pribadi ini misalnya: tidak berani berbuat, tidak berani memulai, takut gagal, tidak punya modal, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud sistem yang membelenggu ini misalnya: pandangan masyarakat atau keluarga bahwa menjadi kuli atau karyawan itu lebih aman [safety], lebih menjanjikan, lebih terjamin, lebih terhormat, lebih priyayi, dan lain-lain. Yang lebih parah lagi kalo status sebagai kuli atau karyawan ini lebih direstui oleh calon mertua daripada sebagai wirausaha, capek deh ….
Sehingga kultur perilaku rakyat Indonesia mayoritas bermental kuli, berjiwa pengabdi, yaitu mengabdi pada bos dan juragan. Masih sering dalam menulis surat lamaran kerja ada kalimat ” Dengan keahlian yang saya miliki, saya siap mengabdi kepada perusahaan ...”. Sifat ini mungkin terbentuk karena dampak dari jaman penjajahan yang dialami rakyat Indonesia selama bertahun-tahun, sehingga pakemnya menyentuh dalam kehidupan sehari-hari. Sering kita mendengar istilah kuli tinta, wisata kuliner, dan sebagainya. Bahkan dalam dunia pendidikan, setamat SMA agar lebih pintar melanjutkan pendidikan ke taraf yang lebih tinggi di universitas dengan menggunakan istilah “kuliah atau kuli-ah”, sebelum lulus sarjana diwajibkan mengikuti program KKN [Kuli-ah Kerja Nyata], apakah maksudnya setelah lulus universitas harus siap menjadi kuli …..?
Paradigma ini harus dirubah, Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa saudagar. Seandainya saja rakyat kita bisa berubah berjiwa wirausaha, pastilah bangsa Indonesia akan jaya. Perubahan itu memang susah, tapi lebih susah bila tidak berubah, hal ini bukan tanggungjawab individu, tetapi merupakan tanggungjawab massal, menjadi fardu kifayah bagi kita semua sebagai warga negara.
Ekspor TKI atau TKW tidak perlu dihentikan, hanya paradigmanya yang harus berubah bukan sebagai eksportir kuli, melainkan sebagai eksportir professional. Ingatlah, bangsa Brasil banyak mengekspor tenaga kerjanya bukan sebagai kuli melainkan sebagai professional [seniman] bola.
Perubahan bisa diawali dari perilaku sehari-hari, bagi para wartawan/jurnalis kita, jangan lagi bangga dengan sebutan “kuli tinta” gantilah dengan istilah “seniman tinta” atau “seniman pena”, dan sebagainya.
Masakan yang enak-enak bukanlah konsumsi sehari-hari para kuli, mengapa tempatnya harus dinamakan “Wisata Kuliner”, sebut saja dengan “Wisata Makanan” khan lebih tepat ….
Bagi tamatan SMA yang ingin melanjutkan belajar di perguruan tinggi terbaik, atau perguruan tinggi idaman maupun perguruan tinggi favorit di Indonesia, jangan memakai istilah “kuliah”, gunakan saja istilah “studi”, walaupun kata asing tetapi sudah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia.
Jadi sebenarnya Bangsa Indonesia bukan bangsa kuli, hanya mental rakyatnya yang saat ini memposisikan diri sebagai kuli, kalo kondisi ini dibiarkan terus bisa menjadi kuli beneran loh ….
Untuk pengelola perguruan tinggi di Indonesia, sebagai pencetak generasi masa depan bangsa ini, segera mulai berbenah diri. Jangan ciptakan sarjana-sarjana pengabdi bos, tetapi ciptakan sarjana-sarjana penjual skill tinggi yang cinta tanah air Indonesia.
Untuk para wakil rakyat yang sedang duduk sambil diskusi dan pakai baju safari, untuk orang-orang pilihan di pemerintahan, serta para dosen dan guru besar di perguruan tinggi idaman, dipundakmu kami berharap, di kantong safarimu kami titipkan masa depan negeri ini dan mental rakyat Indonesia khususnya para sarjana, agar menjadi lebih baik. Jika mentalnya baik, maka perilaku negatif akan terkikis habis, dan sikap mandiri akan tegak berdiri. Ajaklah diskusi para mentor motivasi di negeri ini,
Demikian opini ini kupostingkan untuk berpartisipasi dalam “Lomba Blog UII [Universitas Islam Indonesia], Jayalah negeriku, makmurlah rakyatnya, bangunlah jiwanya, bangunlah mentalnya ….”
Catatan: opini saya ini, pernah saya publis di milis yahoogroup sekitar tahun 2008. Karena isinya ada relevansi dengan tema lomba ini, maka saya rilis lagi dan saya posting disini dengan sedikit revisi. Semoga bermanfaat.
Fenomena pengiriman TKI dan TKW ke luar negeri semakin memperjelas pendapat Emil dan Theodor Helffrich tersebut. Bahkan dengan senyum bangga, pejabat tinggi Indonesia memberikan predikat “Pahlawan Devisa” bagi para TKI dan TKW tersebut.
“Apa benar - bangsa Indonesia – adalah bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa lain? Hal ini sungguh menyakitkan untuk didengar, sungguh terharu untuk dirasakan, sungguh terlalu ….
Pernyataan tersebut diatas bila ditelusur secara utuh, itu tidak benar, bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia, bangsa yang besar, bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, bangsa dengan keanekaragaman suku dan budaya, serta memiliki kekayaan alam yang melimpah-ruah.
Sekarang kita selidik realita lain, banyak konglomerat duduk manis bergelimang harta di negeri ini, banyak orang punya mobil hingga menyebabkan jalanan macet, banyak koruptor bisa tidur nyenyak beralaskan bantal uang di negeri impian ini, banyak anggota parlemen rebutan permen, banyak artis alih profesi ke dunia politis. Apa pantas kuli bisa memiliki dan menikmati semua itu?
Memang sih ada juga rakyat miskin yang tidurnya beralaskan angin, dan juga pengangguran berdasi menunggu jatah nasi. Celakanya kuantitas golongan kedua ini jumlahnya lebih besar dari golongan borju diatas. Ketimpangan yang cukup besar dan keserakahan golongan minoritas membuat negeri ini tidak seimbang, kurang sehat dari sisi mental. Mereka tidak mampu berubah, bisa disebabkan oleh mental pribadi maupun oleh sistem yang membelenggunya. Faktor mental pribadi ini misalnya: tidak berani berbuat, tidak berani memulai, takut gagal, tidak punya modal, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud sistem yang membelenggu ini misalnya: pandangan masyarakat atau keluarga bahwa menjadi kuli atau karyawan itu lebih aman [safety], lebih menjanjikan, lebih terjamin, lebih terhormat, lebih priyayi, dan lain-lain. Yang lebih parah lagi kalo status sebagai kuli atau karyawan ini lebih direstui oleh calon mertua daripada sebagai wirausaha, capek deh ….
Sehingga kultur perilaku rakyat Indonesia mayoritas bermental kuli, berjiwa pengabdi, yaitu mengabdi pada bos dan juragan. Masih sering dalam menulis surat lamaran kerja ada kalimat ” Dengan keahlian yang saya miliki, saya siap mengabdi kepada perusahaan ...”. Sifat ini mungkin terbentuk karena dampak dari jaman penjajahan yang dialami rakyat Indonesia selama bertahun-tahun, sehingga pakemnya menyentuh dalam kehidupan sehari-hari. Sering kita mendengar istilah kuli tinta, wisata kuliner, dan sebagainya. Bahkan dalam dunia pendidikan, setamat SMA agar lebih pintar melanjutkan pendidikan ke taraf yang lebih tinggi di universitas dengan menggunakan istilah “kuliah atau kuli-ah”, sebelum lulus sarjana diwajibkan mengikuti program KKN [Kuli-ah Kerja Nyata], apakah maksudnya setelah lulus universitas harus siap menjadi kuli …..?
Paradigma ini harus dirubah, Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa saudagar. Seandainya saja rakyat kita bisa berubah berjiwa wirausaha, pastilah bangsa Indonesia akan jaya. Perubahan itu memang susah, tapi lebih susah bila tidak berubah, hal ini bukan tanggungjawab individu, tetapi merupakan tanggungjawab massal, menjadi fardu kifayah bagi kita semua sebagai warga negara.
Ekspor TKI atau TKW tidak perlu dihentikan, hanya paradigmanya yang harus berubah bukan sebagai eksportir kuli, melainkan sebagai eksportir professional. Ingatlah, bangsa Brasil banyak mengekspor tenaga kerjanya bukan sebagai kuli melainkan sebagai professional [seniman] bola.
Perubahan bisa diawali dari perilaku sehari-hari, bagi para wartawan/jurnalis kita, jangan lagi bangga dengan sebutan “kuli tinta” gantilah dengan istilah “seniman tinta” atau “seniman pena”, dan sebagainya.
Masakan yang enak-enak bukanlah konsumsi sehari-hari para kuli, mengapa tempatnya harus dinamakan “Wisata Kuliner”, sebut saja dengan “Wisata Makanan” khan lebih tepat ….
Bagi tamatan SMA yang ingin melanjutkan belajar di perguruan tinggi terbaik, atau perguruan tinggi idaman maupun perguruan tinggi favorit di Indonesia, jangan memakai istilah “kuliah”, gunakan saja istilah “studi”, walaupun kata asing tetapi sudah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia.
Jadi sebenarnya Bangsa Indonesia bukan bangsa kuli, hanya mental rakyatnya yang saat ini memposisikan diri sebagai kuli, kalo kondisi ini dibiarkan terus bisa menjadi kuli beneran loh ….
Untuk pengelola perguruan tinggi di Indonesia, sebagai pencetak generasi masa depan bangsa ini, segera mulai berbenah diri. Jangan ciptakan sarjana-sarjana pengabdi bos, tetapi ciptakan sarjana-sarjana penjual skill tinggi yang cinta tanah air Indonesia.
Untuk para wakil rakyat yang sedang duduk sambil diskusi dan pakai baju safari, untuk orang-orang pilihan di pemerintahan, serta para dosen dan guru besar di perguruan tinggi idaman, dipundakmu kami berharap, di kantong safarimu kami titipkan masa depan negeri ini dan mental rakyat Indonesia khususnya para sarjana, agar menjadi lebih baik. Jika mentalnya baik, maka perilaku negatif akan terkikis habis, dan sikap mandiri akan tegak berdiri. Ajaklah diskusi para mentor motivasi di negeri ini,
Demikian opini ini kupostingkan untuk berpartisipasi dalam “Lomba Blog UII [Universitas Islam Indonesia], Jayalah negeriku, makmurlah rakyatnya, bangunlah jiwanya, bangunlah mentalnya ….”
Catatan: opini saya ini, pernah saya publis di milis yahoogroup sekitar tahun 2008. Karena isinya ada relevansi dengan tema lomba ini, maka saya rilis lagi dan saya posting disini dengan sedikit revisi. Semoga bermanfaat.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar